Mangsa (Eps 3)
Episode sebelumnya
Jeritan itu membuat bulu kuduk kami berdiri, menembus keheningan dengan begitu jelas, seolah datang dari segala arah. Kami membeku di tempat, memandang satu sama lain dalam ketakutan yang tak bisa diucapkan. Tidak mungkin itu suara manusia—begitu penuh penderitaan dan keputusasaan.
Kapten Dendi langsung merapatkan tim, "Kita harus keluar sekarang. Situasi ini sudah di luar kendali."
Namun, sebelum kami sempat bergerak, suara langkah berat terdengar dari lorong di belakang kami. Derapnya lambat namun berat, seolah-olah sesuatu yang besar dan tak kasat mata sedang mendekat. Suara rantai yang menyeret tanah kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
"Pocong itu kembali?" gumam Letnan Deris dengan napas yang terengah.
Kapten Tomi menegangkan otot-ototnya, senjata siap di tangan. "Kita tidak punya waktu. Bergerak cepat!"
Kami mulai mundur perlahan, tetap waspada pada setiap sudut gelap ruangan itu. Namun, semakin kami bergerak, semakin jelas bahwa sesuatu—atau seseorang—sedang mempermainkan kami. Ruangan-ruangan yang kami lalui tampak berubah. Dinding yang tadi ada di sana kini tak terlihat, pintu-pintu yang seharusnya mengarah keluar sekarang terkunci rapat. Rumah ini seperti hidup, mengubah wujudnya sesuai kehendak sesuatu yang lebih kuat dari kami.
"Ini seperti labirin," ucapku dengan suara gemetar, perasaan takut merayap semakin dalam.
"Kita sedang dijebak," balas Kapten Dendi.
Saat kami mencapai ujung lorong, tiba-tiba seluruh lampu di dalam rumah padam secara bersamaan. Kegelapan pekat menyelimuti kami. Suara napas kami terdengar jelas, diikuti oleh suara gemuruh kecil dari jauh.
"Kapten... aku nggak bisa lihat apa-apa!" seru Letnan Deris, suaranya tercekik oleh ketegangan.
Sebelum ada yang bisa bereaksi, jeritan lain terdengar, kali ini sangat dekat—dan itu suara Rio, anggota Tim 2.
"Kapten, tolong!!!"
Suara Rio begitu jelas, penuh kepanikan, datang dari ruang lain. Tanpa pikir panjang, Kapten Dendi langsung memerintahkan kami untuk mencari asal suara itu. Kami bergerak cepat, menuju arah suara, namun sesaat sebelum kami mencapai pintu, jeritan itu terhenti, menyisakan keheningan yang bahkan lebih mengerikan.
Kami memasuki sebuah ruangan besar yang tampak seperti ruang keluarga. Di sana, di tengah ruangan, berdiri sosok Rio. Tubuhnya gemetar, wajahnya dipenuhi ketakutan. Namun, ada sesuatu yang salah—sangat salah. Wajah Rio tidak tampak seperti manusia normal. Kulitnya pucat, dan matanya... matanya kosong, seolah dia sudah tidak lagi sepenuhnya "ada" di sana.
"Rio?" bisik Kapten Dendi dengan hati-hati.
Rio tidak menjawab. Perlahan, dia berbalik, menunjukkan wajahnya yang hancur—sisa jeritan dan penderitaan tertanam dalam sorot matanya. Di tangannya, ada rantai besar yang melilit tubuhnya, dan dari balik punggungnya, sosok pocong yang tadi kami lihat mulai muncul.
"Kapten... lari!" teriak Letnan Deris, namun terlambat.
Dalam sekejap, pocong itu melompat ke arah kami, dengan Rio yang seperti boneka tak berjiwa di belakangnya. Kami berhamburan, mencoba melarikan diri, namun pintu-pintu tiba-tiba terkunci sendiri. Aku mendengar suara rantai yang menyeret, diikuti oleh suara tawa pelan yang bergema dari sudut ruangan.
Suara itu datang dari dalam kegelapan—tawa dingin, seperti memandang rendah usaha kami untuk kabur.
Kapten Dendi menarik senjatanya dan menembak ke arah sosok pocong itu. Peluru meletus, namun seperti sebelumnya, pocong itu tidak terpengaruh. Sosoknya terus mendekat dengan langkah lambat, namun pasti.
"Kita tidak bisa melawan ini!" teriak Kapten Tomi, suaranya penuh kepanikan. "Ini bukan makhluk biasa!"
Tiba-tiba, pintu di sebelah kiri terbuka sendiri, seolah memberikan jalan keluar. Tanpa pikir panjang, kami berlari menuju pintu itu, berharap itu adalah satu-satunya kesempatan kami untuk selamat.
Namun, saat kami melewati pintu itu, kami terperangah. Kami tidak keluar dari rumah, melainkan berada di sebuah ruangan lain—ruangan yang penuh dengan benda-benda aneh dan kuno. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah meja kayu tua, dengan lilin-lilin yang menyala di sekitarnya. Di atas meja, ada foto-foto lama, menampilkan wajah-wajah orang yang pernah tinggal di rumah ini.
Wajah-wajah mereka... terlihat sangat akrab.
Aku merasa mual saat melihat foto terakhir. Di sana, di antara foto-foto lainnya, ada foto kami—tim kami. Foto-foto yang tidak mungkin ada di sini. Foto-foto yang menunjukkan kami semua dalam posisi yang sama seperti saat ini.
"Sial... ini... jebakan," bisik Letnan Deris dengan wajah pucat.
Dan saat itulah, dari bayangan di belakang kami, muncul sosok pocong itu lagi. Kali ini, dia tidak sendiri.
Di belakangnya, berdiri seluruh Tim 2. Namun, mereka tidak lagi hidup—mereka sudah menjadi bagian dari kegelapan yang menghantui rumah ini.

Komentar
Posting Komentar