Mangsa (Eps 4)

 


Cerita sebelumnya

Sosok pocong itu berdiri di depan kami, diapit oleh anggota Tim 2 yang seolah telah berubah menjadi bayangan hidup. Mata mereka yang kosong menatap kami tanpa emosi, seperti boneka yang dikendalikan oleh kekuatan gelap. Jantungku berdegup kencang, seolah-olah kematian sedang menyapa kami.

"Apa yang terjadi pada mereka?" Letnan Deris bertanya dengan suara gemetar, mundur perlahan. "Mereka tidak... tidak mungkin..."

"Ini jebakan," kata Kapten Dendi dengan suara tenang namun tegang. "Kita harus keluar dari sini, sekarang."

Namun, seolah mendengar niat kami, pintu di belakang kami tiba-tiba tertutup dengan keras, menutup jalan keluar. Ruangan itu mulai terasa lebih dingin, seolah udara itu sendiri ingin menyesakkan kami. Lilin-lilin di meja kayu bergetar, seperti akan padam kapan saja.

"Kapten... kita terjebak," kataku, suaraku bergetar. Aku bisa merasakan bahaya yang semakin mendekat, seperti bayangan yang menunggu untuk menelan kami.

Sosok pocong itu mulai bergerak, melayang perlahan ke arah kami. Setiap langkahnya terasa berat, seperti membawa kekuatan gelap yang menekan kami. Kapten Tomi langsung mengangkat senjatanya, namun Kapten Dendi mengulurkan tangan, menghentikannya.

"Tidak ada gunanya," kata Kapten Dendi. "Peluru tidak akan bekerja pada mereka. Kita harus menggunakan kepala, bukan otot."

Aku menelan ludah, kepanikan mulai mengambil alih. "Lalu apa yang harus kita lakukan, Kapten? Kita sudah terjebak di sini, tidak ada jalan keluar!"

Kapten Dendi memandang sekeliling ruangan dengan cepat, matanya menyapu setiap sudut, mencari sesuatu yang bisa membantu. Dia berhenti pada lilin-lilin di meja, lalu pada foto-foto yang anehnya sudah menggambarkan nasib kami sebelum kami tiba.

"Ada sesuatu di sini... sesuatu yang tidak kita pahami," gumamnya. "Rumah ini lebih dari sekadar tempat tinggal biasa. Ini... perangkap. Tempat ini telah menjadi sarang kekuatan gelap."

Letnan Deris memandang foto-foto itu dengan tatapan ngeri. "Apa maksudmu, Kapten? Ini semua sudah direncanakan?"

"Sepertinya begitu," jawab Kapten Dendi pelan, lalu berbalik menatap pocong yang terus mendekat. "Dan satu-satunya cara keluar dari sini adalah dengan menghancurkan sumber kekuatan mereka."

Kami semua memandang ke arahnya, bingung.

"Kapten, maksudmu apa?" tanyaku.

"Lilin-lilin itu. Mereka bukan lilin biasa. Mereka terhubung dengan makhluk-makhluk ini, dengan roh-roh yang terperangkap di rumah ini," kata Kapten Dendi sambil menunjuk ke meja. "Jika kita bisa memadamkannya, mungkin kita bisa menghentikan mereka."

Namun, saat kami mulai bergerak menuju lilin-lilin itu, pocong dan Tim 2 yang terkutuk semakin mendekat. Rasanya seperti mereka melambatkan waktu, setiap langkah terasa seperti berabad-abad. Aku bisa merasakan hawa dingin semakin menusuk tulang, dan napasku semakin berat.

"Kean, cepat padamkan lilin itu!" teriak Letnan Deris, suaranya penuh kepanikan.

Aku langsung berlari menuju meja, tanganku terulur untuk memadamkan lilin pertama. Namun, saat jariku hampir menyentuh nyala lilin, suara gemuruh terdengar di belakangku, diikuti oleh jeritan yang begitu nyaring.

Aku berbalik dan melihat Kapten Tomi diangkat ke udara oleh pocong itu, tubuhnya melayang tanpa daya di tengah ruangan. Mata pocong itu, kosong dan hitam, menatap lurus ke arahku, seolah-olah memberikan peringatan.

"Tomi!" Letnan Deris berteriak, namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Pocong itu melempar tubuh Tomi ke dinding dengan keras, membuatnya pingsan seketika.

Kapten Dendi bergerak cepat, menarik senjatanya dan menembak beberapa kali ke udara, mencoba mengalihkan perhatian pocong itu. "Kean! Cepat!"

Dengan tangan gemetar, aku memadamkan lilin pertama. Suara angin tiba-tiba berhembus kencang, dan pocong itu berhenti, sejenak terdiam. Lilin kedua padam dalam satu gerakan cepat, dan aku merasakan tekanan di ruangan itu berkurang sedikit demi sedikit.

Namun, belum sempat aku memadamkan lilin terakhir, sosok-sosok Tim 2 mulai bergerak mendekat, tangan-tangan mereka terulur, mencoba meraih kami.

"Kean, cepat! Kita kehabisan waktu!" Kapten Dendi berteriak, suaranya semakin mendesak.

Aku mengulurkan tanganku untuk lilin terakhir, namun saat jari-jariku hampir menyentuh api, salah satu sosok dari Tim 2—Rio—berhasil menangkap lenganku, menarikku dengan kekuatan yang tak bisa kulawan. Aku berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Rio begitu kuat, dan tatapannya yang kosong begitu mengerikan.

Saat itu, Kapten Dendi berlari ke arahku, menendang Rio hingga cengkeramannya terlepas. "Kean! Padamkan lilinnya, sekarang!"

Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku memadamkan lilin terakhir. Seketika, ruangan itu bergetar hebat, seperti bumi sedang terbelah di bawah kaki kami. Sosok pocong itu mulai bergetar hebat, sebelum akhirnya menghilang seperti asap yang tertiup angin. Sosok-sosok Tim 2 yang terkutuk juga mulai memudar, satu per satu lenyap dari pandangan kami.

Kegelapan itu perlahan terangkat, dan ruangan itu menjadi sunyi kembali. Tidak ada lagi suara jeritan, tidak ada lagi hawa dingin yang menusuk tulang. Hanya ada kami, berdiri di tengah kehancuran yang baru saja terjadi.

"Apa... apa itu tadi?" Letnan Deris bertanya, suaranya masih bergetar.

Kapten Dendi menarik napas dalam-dalam, mengamati sekelilingnya dengan mata tajam. "Kita baru saja melarikan diri dari sesuatu yang jauh lebih tua dan gelap daripada yang bisa kita bayangkan."

Aku terdiam, masih terguncang oleh apa yang baru saja kami alami. Namun, satu hal yang jelas—rumah ini bukan sekadar tempat biasa. Dan apa pun yang baru saja kami hadapi, kami mungkin belum sepenuhnya lepas dari cengkeramannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mangsa (End)

Selamanya Bersamamu